QISHAH : SAYYIDINA ABU AYYUB AL ANSHARY RA.
Kalimat "Lapangkanlah jalannya, karena ia terperintah" diucapkan Rasulullah SAW ketika beliau memasuki kota Madinah dalam perjalanan hijrah beliau. Yang dimaksud "ia" itu adalah unta yang beliau kendarai. Hal ini terjadi karena hampir semua penduduk Madinah berkerumun di sekitar unta Nabi SAW, dan berusaha untuk membawanya ke rumah masing-masing yang pintunya telah dibuka lebar. Walaupun penduduk Madinah tidak semuanya berkelebihan secara ekonomi, tetapi mereka semua sangat ingin menjamu dan menampung Rasulullah di rumah mereka masing-masing. Karena keadaan yang seperti itu, untuk tidak menyinggung perasaan mereka dan bersikap adil kepada semuanya, maka Nabi SAW melepaskan kendali unta beliau dan membiarkannya berjalan menuju rumah yang dikehendaki Allah. Untapun berjalan tanpa dikendalikan, orang-orang Anshar yang rumahnya hanya dilewati merasa kecewa, tetapi bagaimana lagi, Allah yang telah mengarahkan jalannya unta tersebut. Dan kemuliaan itu ternyata jatuh pada Khalid bin Zaid bin Kulaib, atau yang lebih dikenal dengan nama Abu Ayyub al Anshari RA. Unta itu menderum, tetapi Nabi SAW belum mau turun, unta berdiri lagi dan berjalan beberapa langkah, kemudian kembali ke tempat semula dan menderum, barulah Nabi SAW turun. Tempat berhentinya unta yang kemudian didirikan di atasnya Masjid an Nabawy, masih termasuk milik kerabat beliau dari pihak ibu, yakni Bani Najjar. Abu Ayyub menuntun unta Nabi SAW ke rumahnya dan memindahkan barang bawaan beliau ke dalamnya. Rumah Abu Ayyub bertingkat dua, ia telah mengosongkan lantai atas untuk kemungkinan ini. Tetapi Nabi SAW memilih untuk tinggal di lantai bawah, maka Abu Ayyub segera memindahkan barang miliknya ke lantai atas. Malam harinya, ketika ia dan istrinya naik ke loteng, tiba-tiba ia menjadi pucat, ia berkata kepada istrinya, "Celaka kita, apa yang telah kita lakukan? Pantaskah Rasulullah SAW tinggal di bawah dan kita berada lebih tinggi daripada beliau? Apakah pantas kita berjalan di atas kepala beliau? Apakah kita duduk di antara Nabi SAW dan wahyu? Kalau demikian, sungguh kita akan binasa!!" Dalam keadaan bingung, takut dan sesal, mereka berdua meringkuk di sudut loteng tanpa bisa tidur, khawatir kalau ternyata berada di atas Nabi SAW. Berjalanpun mereka berjinjit, seolah takut menginjak lantai. Keesokan harinya Abu Ayyub menceritakan apa yang terjadi dan dirasakannya, dan meminta beliau agar bersedia tinggal di atas. Mendengar penuturannya, beliau bersabda, "Kasihan engkau Abu Ayyub, tetapi aku merasa lebih baik di bawah, agar orang banyak yang ingin menemuiku lebih mudah melakukannya." Abu Ayyubpun mematuhi beliau. Tetapi malam itu berulang lagi, bahkan kali ini karena cuaca dingin, air sempat masuk karena bubungan rumahnya memang agak rusak. Khawatir air akan mengenai Nabi SAW, ia mengelapnya dengan satu-satunya kain untuk alas tidur. Keesokan harinya, ia menghadap Nabi SAW dan memohon dengan sangat agar beliau bersedia pindah ke atas. Nabi SAW akhirnya menyetujui permintaan Abu Ayyub. Nabi SAW tinggal di rumah Abu Ayyub sekitar tujuh bulan. Setelah masjid selesai dibangun, Nabi SAW dan istri-istri beliau pindah ke kamar-kamar yang dibangun di sekitar masjid. Abu Ayyub mempunyai kebiasaan untuk menyimpan makanan atau susu yang disiapkan untuk Nabi SAW. Pada suatu ketika Nabi SAW tidak datang sampai agak siang, sehingga Abu Ayyub beranggapan Nabi SAW tidak mampir pada hari itu, dan ia memberikan jatah tersebut pada keluarganya, kemudian ia berangkat ke kebun. Tetapi tak lama kemudian Nabi SAW beserta Abu Bakar dan Umar datang di rumahnya, tetapi hanya menjumpai istrinya. Ketika mengetahui kehadiran Nabi SAW di rumahnya, Abu Ayyub segera meninggalkan kebunnya, ia sempatkan memetik beberapa tangkai kurma kering, kurma masak dan kurma muda. Ia menyambut kehadiran tamu-tamunya dengan hangat dan menyuguhkan kurma yang dibawanya. Nabi SAW bersabda, "Apa yang engkau maksudkan? Mengapa tidak engkau petik kurma kering saja untuk kami?" "Wahai Rasulullah," Kata Abu Ayyub, "Aku ingin tuan memakan kurma ini sambil menunggu aku menyembelih seekor kambing untuk tuan." Abu Ayyub berlalu untuk menyembelih kambing, sebagian dagingnya dipanggang dan sebagian digulai. Ia juga menyuruh istrinya untuk membuat roti. Setelah semua siap, makanan itu dihidangkan kepada Nabi SAW dan dua sahabatnya tersebut. Nabi SAW mengambil satu potong roti dan meletakkan daging kambing di atasnya, dan berkata kepada Abu Ayyub, "Antarkanlah makanan ini kepada Fathimah, karena sudah beberapa hari ia tidak makan makanan seperti ini." Abu Ayyub berlalu mengantarkan makanan kepada Fathimah seperti yang diperintahkan Nabi SAW. Beliau dan dua sahabatnya, Abu Bakar dan Umar tampak sangat menikmati jamuan yang diberikan Abu Ayyub, bisa jadi telah berhari-hari lamanya tiga orang mulia tersebut tidak menikmati makanan selezat itu. Hal itu sangat menggembirakan hati Abu Ayyub dan istrinya. Ketika selesai makan dan akan kembali bersama kedua sahabatnya, beliau berpesan agar Abu Ayyub menemui beliau besoknya. Ketika menemui Nabi SAW keesokan harinya, beliau memberikan seorang budak perempuan miliknya kepada Abu Ayyub sambil bersabda, "Hai Abu Ayyub, nasehatilah dia dan perlakukan dia dengan baik, karena selama bersama kami hanya kebaikan saja yang kami dapati dalam dirinya." Abu Ayyub membawa budak itu pulang, dan sampai di rumah ia berembug dengan istrinya, dan berkata, "Untuk memenuhi wasiat Nabi SAW, tidak ada yang lebih baik bagi budak ini kecuali kebebasannya…" Iapun memerdekakan budak perempuan pemberian Nabi SAW tersebut. Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, dan ini juga dialami oleh Abu Ayyub. Pada jaman Muawiyah menjabat Amirul Mukminin, ia mempunyai hutang yang cukup besar. Ia menemui Muawiyah mengadukan persoalan hutangnya dengan harapan akan dibantu dalam pelunasannya, tetapi harapannya itu sia-sia saja. Ketika ia menceritakan "ramalan" Nabi SAW seusai Perang Hunain tersebut, Muawiyah justru bertanya, "Apakah yang dinasehatkan Rasulullah SAW kepada kalian?" "Bersabar!!" Kata Abu Ayyub. "Kalau begitu, bersabarlah kalian!" Kata Muawiyah. "Demi Allah!" Kata Abu Ayyub, "Setelah hari ini, aku tidak akan meminta suatu apapun kepadamu selama-lamanya." Bagaimanapun beban hutang harus diselesaikan, karena itu Abu Ayyub pergi ke Bashrah dengan harapan akan memperoleh jalan keluar dari persoalannya. Ia disambut dengan hangat oleh Abdullah bin Abbas, yang menjabat Amir dan memintanya tinggal di rumahnya. Bahkan ia meminta semua anggota keluarganya meninggalkan rumah tersebut untuk ditempati Abu Ayyub. Ibnu Abbas berkata, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW. Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumah untuk bisa ditempati oleh Rasulullah SAW." Abu Ayyub mendapat perlakuan dan pelayanan yang istimewa dari Ibnu Abbas, haknya dari baitul mal juga dibayarkan oleh Ibnu Abbas, bahkan diberikan lima kali lipat dari seharusnya sehingga Abu Ayyub bisa menyelesaikan persoalan hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya, yang bisa digunakan untuk mencukupi kebutuhannya. Abu Ayyub tak pernah absen dari berjuang bersama Rasulullah SAW untuk meninggikan dan memenangkan panji-panji Islam, begitu juga ketika beliau telah wafat. Dalam perang penaklukan Konstantinopel di jaman Muawiyah, ketika itu ia telah berusia sekitar 80 tahun, ia jatuh sakit sebelum pertempuran dimulai. Ketika kondisinya makin kritis menjelang sakaratul maut, ia berkata, "Sampaikan salamku kepada seluruh tentara islam, katakan kepada mereka bahwa Abu Ayyub berwasiat, masuklah kalian sejauh mungkin ke bumi orang-orang kafir, dan kuburkanlah jasadku di sekitar tembok kota Konstantinopel." Pasukan muslim ternyata mampu mendesak pasukan musuh hingga terus mundur dan bertahan di kota Konstantinopel, dan di sanalah jasad Abu Ayyub dimakamkan. Dalam masa-masa akhir hidupnya tersebut, ia juga sempat "mengajarkan" tafsiran yang benar dari Surah al Baqarah 195. Saat dua pasukan telah berhadapan, ada seorang lelaki muhajirin yang maju sendirian menyerbu tentara Romawi sehingga membuka jalan penyerangan. Beberapa tentara muslim berteriak melihat kenekatannya, "Hentikan-hentikan, Laa Ilaha illallah, ia menjatuhkan dirinya dalam kebinasaan..!!" Mendengar teriakan tersebut, yang seakan-akan menyitir surah al Baqarah 195, Abu Ayyub berkata, "Bukan seperti itu (maksud dari ayat tersebut), ayat tersebut diturunkan untuk kita orang-orang Anshar. Ketika Allah telah menolong NabiNya dan memenangkan Islam dan menjadikannya kuat, kami kaum Anshar berkata, 'Marilah sekarang kita mengurus dan memperbaiki kebun-kebun kita yang telah telantar (karena ditinggal berjihad)'. Maka Allah menurunkan ayat tersebut sebagai celaan akan niat kita tersebut dan meninggalkan jihad."
Komentar
Posting Komentar