Khadijah 6
Kisah Pernikahan Rasulullah SAW dengan Siti Khadijah (6)
Khadijah Menawarkan Diri
Muhammad Al-Amiin muncul di rumah Khadijah. Wanita usahawan itu berkata:"Hai Al-Amiin, katakanlah apa keperluanmu!" Suaranya ramah, bernada dermawan. Dengan sikap merendahkan diri tapi menjaga marwahnya, Muhammad SAW berbicara lurus, terus terang, meskipun agak malu-malu tetapi pasti. katanya:"Kami sekeluarga memerlukan nafkah dari bagianku dalam rombongan niaga. Keluarga kami amat memerlukannya untuk mencarikan jodoh bagi anak saudaranya yang yatim piatu". Kepalanya tertunduk, dan wanita hartawan itu memandangnya dengan penuh ketakjuban.
"Oh, itukah....! Muhammad, upah itu sedikit, tidak menghasilkan apa- apa bagimu untuk menutupi keperluan yang engkau maksudkan,"kata Khadijah RA. "Tetapi biarlah, nanti saya sendiri yang mencarikan calon isteri bagimu".
Ia berhenti sejenak, meneliti. Kemudian meneruskan dengan tekanan suara memikat dan mengandungi isyarat:"Aku hendak mengawinkanmu dengan seorang wanita bangsawan Arab. Orangnya baik, kaya, diingini oleh banyak raja-raja dan pembesar-pembesar Arab dan asing, tetapi ditolaknya. Kepadanyalah aku hendak membawamu". Khadijah tertunduk lalu melanjutkan:"Tetapi sayang, ada aibnya...! Dia dahulu sudah pernah bersuami. Kalau engkau mau, maka dia akan menjadi pengkhidmat dan pengabdi kepadamu".
Pemuda Al-Amiin tidak menjawab. Mereka sama-sama terdiam, sama-sama terpaku dalam pemikirannya masing-masing. Yang satu memerlukan jawaban, yang lainnya tak tahu apa mau dijawab. Khadijah RA. tak dapat mengetahui apa yang terpendam di hati pemuda Bani Hasyim itu, pemuda yang terkenal dengan gelar Al-Amiin (jujur). Pemuda Al- Amiin itupun mungkin belum mengetahui siapa kira-kira calon yang dimaksud oleh Khadijah RA. Ia minta izin untuk pulang tanpa sesuatu keputusan yang ditinggalkan.
Ia menceritakan kepada pamannya:"Aku merasa amat tersinggung oleh kata-kata Khadijah RA. Seolah-olah dia memandang enteng dengan ucapannya ini "....". Ia mengulangi apa yang dikatakan oleh perempuan kaya itu. Atiqah juga marah mendengar berita itu. Dia seorang perempuan yang cepat naik darah kalau pihak yang dinilainya menyinggung kehormatan Bani Hasyim. Katanya: "Muhammad, kalau benar demikian, aku akan mendatanginya". Atiqah tiba di rumah Khadijah RA. dan terus menegurnya:"Khadijah, kalau kamu mempunyai harta kekayaan dan kebangsawan, maka kamipun memiliki kemuliaan dan kebangsawanan. Kenapa kamu menghina puteraku, anak saudaraku Muhammad?"
Khadijah r.a terkejut mendengarnya. Tak disangkanya bahwa kata- katanya itu akan dianggap penghinaan. Ia berdiri menyabarkan dan mendamaikan hati Atiqah:"Siapakah yang sanggup menghina keturunanmu dan sukumu? Terus terang saja ku katakan kepadamu bahwa dirikulah yang ku maksudkan kepada Muhammad SAW. Kalau ia mau, aku bersedia menikah dengannya. kalau tidak, aku pun berjanji tak akan bersuami hingga mati".Pernyataan jujur ikhlas dari Khadijah RA. membuat 'Atiqah terdiam.
Kedua wanita bangsawan itu sama-sama cerah. Percakapan menjadi serius."Tapi Khadijah, apakah suara hatimu sudah diketahui oleh anak pamanmu Waraqah bin Naufal?" tanya 'Atiqah sambil meneruskan:"Kalau belum, cobalah meminta persetujuannya."
"Ia belum tahu, tapi katakanlah kepada saudaramu, Abu Thalib, supaya mengadakan perjamuan sederhana. Jamuan minum, dimana sepupuku diundang, dan disitulah diadakan lamaran" Khadijah RA. berkata seolah-olah hendak mengatur siasat. Ia yakin Waraqah takkan keberatan kerana dialah yang menafsirkan mimpinya akan bersuamikan seorang Nabi akhir zaman.
'Atiqah pulang dengan perasaan tenang, puas. Pucuk dicinta ulam tiba. Ia segera menyampaikan berita gembira itu kepada saudara-saudaranya: Abu Thalib, Abu Lahab, Abbas dan Hamzah. Semua riang menyambut hasil pertemuan 'Atiqah dengan Khadijah ."Itu bagus sekali", kata Abu Thalib,"Tapi kita harus bermusyawarah dengan Muhammad SAW lebih dahulu".
Komentar
Posting Komentar